Manokwari, TP – Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan perkara Nomor: 41/PUU-XVII/2019 perihal Pengujian Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembacaan putusan akan dilakukan di ruang sidang Pleno Lantai 2 Gedung MK, Jl. Merdeka Barat, Jakarta, hari ini, Senin (26/10/2020). Sehubungan dengan pandemi Covid-19, maka MK tetap menerapkan protokol kesehatan, sehingga para pihak menghadiri persidangan melalui daring tanpa harus datang ke MK.
Para Pemohon, Krisman D.A.J. Fonataba (Ketua Umum Partai Papua Bersatu) dan Darius Nawipa (Sekretaris Jenderal Partai Papua Bersatu) melalui kuasa hukumnya, Habel Rumbiak, SH, S.pN mengajukan judicial review (uji materil, red) terhadap frasa ‘Partai Politik’ pada Pasal 28 Ayat 1 UU No. 21 Tahun 2001.
Menurut Rumbiak, proses persidangan yang berjalan sekitar 8 kali sejak 2019 itu, telah menghadirkan sekitar 5 saksi ahli, akan sampai pengucapan putusan majelis hakim MK, hari ini.
Dalam permohonannya, lanjut Rumbiak, pihaknya meminta majelis hakim MK untuk menafsirkan Pasal 28 Ayat 1 dengan bunyi ‘Penduduk Provinsi Papua Dapat Membentuk Partai Politik’.
“Di sini kalimatnya multitafsir memang. Sebetulnya partai politik di sini yang dimaksudkan berarti partai nasional. Tetapi orang Papua bilang ini Undang-undang Otsus, yang berlaku di Papua saja. Maka yang dimaksud dalam Pasal 28 Ayat 1 itu adalah partai politik lokal,” terang dia kepada Tabura Pos via ponselnya, Minggu (25/10/2020) malam.
Namun, Rumbiak menegaskan, orang Papua tidak bisa menafsirkan frase ‘partai politik’ ini, tetapi yang berwenang adalah MK, sehingga pihaknya mengajukan uji materil ke MK. Tujuannya, jelas dia, supaya frasa itu dipertegas bahwa yang dimaksud partai politik adalah partai politik lokal.
“Kalau itu sudah dikabulkan misalnya, maka hak konstitusional warga negara, khususnya masyarakat Papua yang mau mendirikan partai politik, tidak dirugikan dengan berlakunya Pasal 28 Ayat 1 ini,” tandas Rumbiak.
Ditanya apakah penjabaran dari Pasal 28 Ayat 1 ini tidak diatur dalam peraturan pemerintah (PP), Rumbiak menegaskan, hal itu belum diatur, terkecuali Undang-undang Otsus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD).
Ditambahkannya, dalam Undang-undang tersebut, memang diatur juga dalam PP, sehingga menjadi landasan operasional KPU dan pemerintah setempat untuk mendirikan partai politik lokal di Aceh.
“Jadi, partai politik lokal bisa mengikuti pilkada maupun pemilihan legislatif. KPU sebagai pelaksana pemilihan umum, dia bisa mengatur lebih lanjut dalam PKPU-nya,” kata Rumbiak.
Sementara di Papua, lanjut Rumbiak, memang sudah diatur dalam Undang-undangnya, tetapi tidak menyebut secara tersurat partai politik lokal, ditambah lagi tidak ada PP yang mengatur jika frasa itu dimaksudkan partai politik lokal.
Disinggung jika majelis hakim MK memutuskan partai politik yang dimaksudkan itu partai lokal, apakah berdampak terhadap keberadaan anggota DPR Papua Barat melalui Mekanisme Pengangkatan, Rumbiak menegaskan, mereka tidak ada masalah dan tidak berpengaruh terhadap anggota dewan melalui mekanisme pengangkatan.
“Dalam DPRP atau DPRPB, itu ada dua unsur, yakni anggota yang dipilih melalui partai politik dan anggota yang diangkat. Nah, kalau partai politik lokal ini dikabulkan, dia juga akan berkompetisi dalam pemilihan legislatif agar bisa mengupayakan calon-calonnya bisa gol. Tidak pengaruh, karena kursi Otsus itu diangkat dengan jumlah satu per empat dari jumlah anggota DPR menurut undang-undang. Partai politik lokal ini akan memperebutkan kursi dengan partai politik nasional,” papar Rumbiak.
Dia merasa yakin apa yang dimohonkan ke MK akan dikabulkan, melihat usulan draft 1 hingga 13, memang disebutkan partai politik lokal.
“Para perancang Undang-undang Otsus ini dalam draft-draft awalnya memang menyebut partai politik lokal. Tapi ketika disahkan pada 2001, kata lokal itu dihilangkan. Sehingga, maknanya berubah, bukan lagi partai politik lokal, tetapi nampak di sana bahwa orang Papua bisa membentuk partai politik secara nasional. Ini juga sudah kita ajukan sebagai bukti,” tambah Rumbiak.
Dicecar mengapa baru sekarang diajukan judicial review ke MK, bukan sewaktu baru saja disahkan, jelas Rumbiak, memang ini membutuhkan kesadaran hukum untuk memperjuangkan.
“Momentumnya didapatkan baru sekarang-sekarang ini ketika kebutuhan akan partai politik lokal itu meningkat lantaran tidak adanya keseimbangan komposisi anggota DPR OAP dan non OAP, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” terang Rumbiak.
Ketidakseimbangan itulah, sambung dia, maka sebagian masyarakat Papua yang menyadari adanya ruang politik di Undang-undang Otsus, tetapi tidak ada insiatif dari pemda, sehingga masyarakat secara mandiri mengajukan judicial review.
Terkait jumlah partai politik lokal di Papua dan Papua Barat, Rumbiak mengungkapkan, sepengetahuannya, hanya 2 partai politik lokal, yakni Partai Papua Bersatu di Papua dan Para-para Adat di Papua Barat.
“Setahu saya cuma 2 itu. Itu pun mereka mengalami hambatan ikut serta karena terbentur regulasi tadi,” kata Rumbiak seraya mengakui, target dari permohonan ini yakni Pemilu Legislatif 2022 dan 2024 untuk kursi di DPR provinsi maupun kabupaten dan kota. [HEN-R1]