Manokwari, TP – Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Papua Barat, Musa Y. Sombuk meminta agar penggunaan anggaran penanganan Covid-19 harus transparan kepada publik.
Sombuk menilai, selama ini penggunaan anggaran penanganan Covid-19 di Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari yang dikelola gugus tugas, belum transparan.
“Sekarang yang ditunggu-tunggu masyarakat adalah transparansi anggaran penanganan Covid-19, ini adalah masalah-masalah yang diadukan ke Ombudsman,” kata Sombuk kepada para wartawan di kantornya, baru-baru ini.
Sombuk menilai, salah satu penggunaan anggaran penanganan Covid-19 yang terlihat belum transparan adalah karena adanya biaya rapid test kepada masyarakat.
Dijelaskan Sombuk, rapid test sekarang sudah dijadikan syarat administrasi yang sifatnya wajib bagi setiap orang.
“Kalau logikanya wajib berarti yang mewajibkannya harus siapkan, ini sudah dijadikan administrasi wajib, tetapi tidak disiapkan, malah masyarakat disuruh bayar dengan harga yang variasi, tidak boleh masyarakat disuruh bayar,” jelasnya.
Menurutnya, dengan adanya biaya rapid test, tidak ada upaya dan langkah memecahkan masalah tersebut dan sengaja dibuat menjadi liar yang mengarah kepada ladang bisnis.
“Tolong jangan main-main dengan nyawanya orang dengan soal anggaran, Anda diangkat untuk melindungi masyarakat, supaya jangan kena Corona, uang sudah ada, dapat bantuan alat rapid test, tapi rapid test ada biaya, pertanyaan uang ada dimana, ” terangnya.
Di samping itu, sambung Sombuk dalam laporan masyarakat, mempertanyakan juga biaya yang habis dikeluarkan untuk membiayai perawatan orang positif Corona sampai sembuh.
“Kalau di Jayapura biaya pengobatan satu orang yang positif Corona Rp. 2 juta, sudah berapa banyak uang yang dihabiskan di Papua Barat, ini tidak jelas,” bebernya.
Sombuk menambahkan, saat ini konteks yang harus dilakukan adalah konteks untuk keluar dari pandemi Covid-19 bukan lagi dalam konteks menangangi Covid-19.
“Kalau konteks pelayanan publik ya sudah, di rapid test saja sekalian bila perlu di swab sekalian, jangan pakai konteks politisi lah dan semacamnya,” ujar Sombuk.
Menurutnya, dengan kondisi ini yang mana semakin banyak jumlah orang yang terpapar Covid-19 adalah kebijakan yang salah yang dapat membunuh rakyat.
“Mahasiswa sekarang menuntut transparan anggaran ya kalau sudah begitu harus terbuka, kenapa sampai tidak terbuka karena konteksnya bukan melindungi lagi tetapi membebani masyarakat dengan adanya biaya rapid test. Kita juga dalam konteks lembaga mempertanyakan itu,” imbuhnya.
Sombuk menambahkan, bila memang dalam penanganan Covid-19 konteksnya sudah dialihkan menjadi konteks bisnis, maka biarlah sekarang masyarakat diberikan kewenangan untuk berjualan alat rapid test.
“Mungkin pakai rumus tambal ban, hambur paku di jalan biar orang datang tambal ban, sama seperti hambur virus ke sana biar orang datang beli rapid test, mungkin itu, kalau sampai tujuan begitu maka fatal sekali, tetapi itu opini yang berkembang yang dilakukan pemerintah, akibatnya dari itu, masyarakat sudah tidak mau dengar imbauan pemerintah dan banyak yang melanggar seperti yang terjadi sekarang,” pungkas Sombuk. [SDR-R1]